Minggu, 15 Maret 2009

Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Hakim

Banyak kalangan masyarakat diluar peradilan seperti akademisi, advokad dan lembaga swadaya masyarakat yang memberikan perhatian amat mendalam terhadap putusan pengadilan. Mereka bahkan telah memberikan kritiknya yang sangat berguna bagi optimalisasi peningkatan kwalitas putusan pengadilan antara lain penilaian mereka bahwa putusan pengadilan banyak yang tidak cukup pertimbangan (0NVOLDOUNDE GEMOTIVEED). Ada Pula yang berkomentar sinis mengatakan, bahwa hakim pengadilan hanya dalam mengambil putusan hanya sekedar mencocok-cocokkan pasal perundang-undangan dengan dengan suatu peristiwa hokum yang sedang dihadapi, sehingga hakim tidak kreativ dan tidak cermat (SUBSUMTIVE AUTOMAT), bahkan kita sering mendengar tudingan orang bahwa hakim kita dianggap terlalu legalistic, tidak mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat, berperforment kaku, berpikiran sempit, rendah kapasitasnya dan lain sebagainya. Oleh karena itu, maka bahasan selanutnya akan kita fokuskan pada pertimbangan hukum yang bagaimanakah yang dipandang cukup itu.
Suatu pertimbangan hokum dalam putusan hakim dipandang cukup apabila memenuhi sayarat minimal pertimbangan sebagai berikut:
1. Pertimbangan menurut hokum dan perundang-undangan
Hakim dalam mengambil putusan atas suatu perkara yang diadili harus membuat pertimbanngan berdasarkan hokum dan atau legal yuridis yang meliputi hokum formil dan hokum materiil baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis sebagai mana maksud pasal 5 ayat (1) UU nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang tidak dipertimbangkan menurut/berdasarkan hokum adalah batal demi hokum.
Putusan yang berdasarkan pertimbangan menurut hokum sering disebut sebagai putusan legalistic dan tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Anggapan keliru ini perlu diluruskan sehubungan dengan proses lahirnya suatu undang-undang dimana oleh eksekutif dan legislative segala analisa dan alas an keadilan telah dipertimbangkan secara cermat dan saksama.
Azas legalistic harus diartikan hakim bukan sekedar sebagai corong undang-undang yang hanya sekedar melekatkan pasal dari undang-undang terhadap suatu peristiwa atau kasus yang sedang dihadapi, akan tetapi hakim harus dapat menterjemahkan atau menafsirkan pasal-pasal perundang-undangan sedemikian rupa, sehingga pasal-pasal tersebut up to date dan dapat menjadi sumber dari pembentukan hokum baru demi mewujudkan keadilan bagi masyarakat.
2. Pertimbangan demi mewujudkan keadilan
Salah satu tujuan suatu hokum dan peraturan perundang-undangan adalah demi terciptanya keadilan. Keadilan harus selalu melekat dalam putusan hakim karena keadilan merupakan tujuan utama dari hokum dan perundang-undangan itu sendiri. Untuk menegakkan hokum dan keadilan itulah pengadilan dibangun. Dengan pengadilan yang adil diharapkan akan mewujudkan ketertiban, ketentraman dan kedamaian.
Profesor Doktor Soetjipto Rahardjo, guru besar sosiologi hokum Fakultas hokum Universitas Diponegoro Semarang mengemukakan beberapa rumusan tentang keadilan menurut beberapa ahli hukum sebagai berikut:
• Adil adalah memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya untuknya. (Ulpianus).
• Adil adalah setiap orang bebas menentukan apa yang akan dilakukan asal ia tidak melanggar kebebasan yang sama dari orang lain. (Herbert Spencer)
• Adil adalah persamaan pribadi. (Nelson)
• Adil adalah kemerdekaan individu dalam mengejar kemakmuran individual dan membatasi kemerdekaan individu didalam batas-batas sesuai dengan kesejahteraan ummat manusia. (John Salmon)
• Adil adalah hasil konkrit yang dapat diberikan kepada masyarakat berupa pemuasan kebutuhan manusia yang sebanyak-banyaknya dengan pengurbanan yang sekecil-kecilnya. (Resco Pound)
Pertimbangan putusan hakim dari aspek keadilan ini adalah merupakan pertimbangan yang sangat mendasar dan inti, pertimbangan mana harus ditempatkan pada prioritas pertama dan utama diatas pertimbangan menurut hokum dan perundang-undangan, karena ternyata pertimbangan untuk mewujudkan keadilan adalah pertimbangan yang mempunyai muatan yang sangat komprehansif mencakup pertimbangan filosofis, sosiologis, psychologis dan relegius.
3. Pertimbangan untuk mewujudkan kemashlahatan
Pertimbangan yang harus dibuat oleh hakim khususnya hakim peradilan agama dalam menjatuhkan putusan juga harus memperhatikan dua hal; mashlahat dan madlarat. Putusan hakim harus mendatangkan mashlahat dan mencegah madlarat sebagaimana kaidah dalam filsafat hokum islam (ushul Figh) “Dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih”.
Ruang lingkup kemashlahatan yang menjadi tujuan hokum islam menurut ushul fiqh secara berurutan adalah sebagai berikut:
a. Kemashlahatan dalam memelihara agama,
b. Kemashlahatan dalam memelihara jiwa,
c. Kemashlahatan dalam memelihara akal,
d. Kemashlahatan dalam memelihara keturunan dan
e. Kemashlahatan memelihara harta.
Profesor Doktor Abdul Wahab Khollaf berpendapat, bahwa untuk mempergunakan hujjah kemashlahatan sampai kepada pembentukan hokum atas peristiwa yang tidak ada peraturan perundang-undangannya atau telah ada peraturan perundang-undangannya tetapi tidak jelas harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
a. Kemashlahatan tersebut harus pasti, bukan atas dasar duga-duga
b. Kemashlahatan tersebut harus merupakan kemashlahatan umum, bukan mashlahat yang bersifat perorangan
c. Pembentukan hokum melalui mashlahat tidak boleh bertentangan dengan hokum atau prisnsip yang telah ditetapkan oleh nash/perundang-undangan atau ijma’.
Untuk mengetahui mana yang mashlahat dan mana yang madlarat bergantung kepada kecerdasan hakim melalui kemampuan analisa yang cermat, obyektif dan empiric termasuk wawasannya tentang ‘urf atau tradisi, meskipun hasil kajiannya terbatas pada kemashlahatan duniawi.

Syariat Islam di Negara Tauhid

Syariah merupakan bagian integral dan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan ummat islam, karena setiap muslim memang diwajibkan bertahkim kepadanya sebagai mana yang terkandung dalam al-qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun didalam implementasinya terdapat problem yang serius lantaran ummat islam indonesia hidup di negara yang bukan negara islam dan berdampingan dengan ummat yang lainnya.

Problem itu antara lain berwajah kultural di mana sampai saat ini masih dalam pertanyaan apakah ummat islam Indonesia sudah mengalami pembatinan (internalisasi) nilai-nilai islam kedalam kehidupan pribadinya, sehingga mereka merasakan ada tuntutan untuk meengekspresikan syari’at itu dalam berfikir, bersikap dan bertindak, atau malah sebaliknya.

Problem lain yang terjadi akibat tidak meratanya internalisasi nilai islam sebagaimana tersebut di atas adalah betapa beragamnya realitas kelembagaan dan struktu sosial yang ada. Boleh jadi sesama muslim tidak bersepakat mengenai bagaimana seharusnya syariat dipraktekkan dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Secara epistimologis juga timbul problem dikala terjadi transformasi syariat dalam sistem hukum nasional, dimana terdapat perbedaan sikap politik antar komunitas muslim yang disebabkan tidak adanya klarifikasi epistimologis dalam menangkap isu yang berkembang, karena masing-masing komunitas kebanyakan telah terkontaminasi dikotomi epistemik.

Tetapi kini ummat islam menyadari bahwa perbedaan epistimologi itu perlu segera dicairkan, sebab jika tidak akan berimplikasi pada perbedaan sikap dan kepentingan politik, dan yang paling berperan dalam masalah ini adalah para elit bangsa dan ummat, baik umara’, ulama, maupun politisi.

Alamsyah Ratu Prawiranegara (menteri agama tahun 1978-1983) adalah orang yang paling berjasa dalam menyingkap sejarah yang dilupakan tentang pengorbanan ummat islam di negara Republik Indonesia; Beliau menegaskan, bahwa pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, datang utusan kaum nasrani indonesia timur menghadap bung Hatta menyampaikan pesan bahwa Indonesia timur tidak akan bergabung dengan NKRI jika 7 kata piagam jakarta itu (Dengan Kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya) tidak dicabut.

Pada tanggal 18 Agustus 1945 jam 08.00 pagi, bung Hatta mengundang K. H. Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Teuku M. Hasan dan Mr. Kasman Singodimejo untuk membahas keberatan kaum nasrani timur itu. Maka disepakati 7 kata dalam piagam Jakarta tersebut diganti dengan “Yang Maha Esa”, sehingga Kalimat “Ketuhanan dengan berkewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”

Ketika perubahan tersebut dibacakan di depan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), kalangan islam berdiri dan mengajukan protes keberatan dan mempertanyakan siapa yang merubah kesepakatan 7 kata itu. Ki Bagus Hadikusumo berdiri dan menjawab; “Kami yang merubah” sekaligus dengan tegas menjelaskan kepada sidang PPKI, bahwa maksud Ketuhanan Yang Maha Esa adalah TAUHID. Alhamdulillah dengan penegasan tauhid itu sidang paripurna PPKI menerima rumusan piagam jakarta yang baru untuk dijadikan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

Sejak dari bangsa Indonesia melawan penjajah yang dipelopori oleh para sultan dan para pejuang pergerakan sampai dengan memformulasikan dasar negara Pancasila, ummat Islam telah berkorban demi kemerdekaan negeri ini. Ada dua pengorbanan ummat islam yaitu memupus keinginannya mendirikan negara Islam Indonesia dan dengan lapang dada menghapus tujuh kata dalam piagam jakarta.

Hanya dengan penjelasan bahwa sila pertama dari pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, bermakna TAUHID lah, maka para pejuang kemerdekaan Indonesia yang mayoritas terdiri dari para ulama dan cendekiawan muslim dapat menerima Pancasila. Karena mereka memahami hakekatnya, bahwa negara Kesatuan Republik Indesia adalah negara derdasarkan tauhid atau dengan kata lain NEGARA TAUHID.

Eksistensi negara tauhid ini lebih tegas dinyatakan oleh Presiden Sukarno dalam dekrit Prisiden RI 5 Juli 1959, 14 tahun setelah proklamasi, bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan ia merupakan rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Artinya segala peraturan perundangan yang akan dibuat dan diberlakukan di negara Indonesia tidak boleh bertentangan dengan syari’at islam. Dan bagi pemeluk agama islam tetap diwajibkan untuk melaksanakan syari’at islam.

Bukti pelaksanaan syari’ah di Indonesia dapat dilihat pasal 29 UUD 1945, dan beberapa UU organiknya antara lain:

1. UU no. 1 tahun 1974, tentang Perkawinan,

2. UU no. 7 tahun 1989, tetang Peradilan Agama,

3. UU no. 3 tahun 2006, tentang perubahan atas UU no.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama,

4. UU no. 17 tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji,

5. UU no. 38 tahun 1999, tentang Pengelolaan Zakat,

6. UU no. 14 tahun 2004, tentang Wakaf,

7. UU no. 19 tahun 2008, tentang Surat Berharsga syari’ah Negara,

8. UU no. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah

Dalam hal adanya kesadaran mengimplementasikan syariah di Indonesia dapat pula disaksikan bahwa setiap presiden dan atau DPR membuat peraturan perundang-undangan baik secara ucapan atau tulisan selalu diawali dengan irah-irah “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA”. Oleh karena itu ummat islam harus sadar dan faham bahwa Indonesia ini milik kita, bukan milik siapa-siapa, memang Indonesia bukan negara Islam, akan tetapi Indonesia adalah negara tauhid yang tidak pernah mengabaikan syari’atnya. Kita harus bersyukur dan bangga menjadi warga negara Republik Indonesia.