Banyak kalangan masyarakat diluar peradilan seperti akademisi, advokad dan lembaga swadaya masyarakat yang memberikan perhatian amat mendalam terhadap putusan pengadilan. Mereka bahkan telah memberikan kritiknya yang sangat berguna bagi optimalisasi peningkatan kwalitas putusan pengadilan antara lain penilaian mereka bahwa putusan pengadilan banyak yang tidak cukup pertimbangan (0NVOLDOUNDE GEMOTIVEED). Ada Pula yang berkomentar sinis mengatakan, bahwa hakim pengadilan hanya dalam mengambil putusan hanya sekedar mencocok-cocokkan pasal perundang-undangan dengan dengan suatu peristiwa hokum yang sedang dihadapi, sehingga hakim tidak kreativ dan tidak cermat (SUBSUMTIVE AUTOMAT), bahkan kita sering mendengar tudingan orang bahwa hakim kita dianggap terlalu legalistic, tidak mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat, berperforment kaku, berpikiran sempit, rendah kapasitasnya dan lain sebagainya. Oleh karena itu, maka bahasan selanutnya akan kita fokuskan pada pertimbangan hukum yang bagaimanakah yang dipandang cukup itu.
Suatu pertimbangan hokum dalam putusan hakim dipandang cukup apabila memenuhi sayarat minimal pertimbangan sebagai berikut:
1. Pertimbangan menurut hokum dan perundang-undangan
Hakim dalam mengambil putusan atas suatu perkara yang diadili harus membuat pertimbanngan berdasarkan hokum dan atau legal yuridis yang meliputi hokum formil dan hokum materiil baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis sebagai mana maksud pasal 5 ayat (1) UU nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang tidak dipertimbangkan menurut/berdasarkan hokum adalah batal demi hokum.
Putusan yang berdasarkan pertimbangan menurut hokum sering disebut sebagai putusan legalistic dan tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Anggapan keliru ini perlu diluruskan sehubungan dengan proses lahirnya suatu undang-undang dimana oleh eksekutif dan legislative segala analisa dan alas an keadilan telah dipertimbangkan secara cermat dan saksama.
Azas legalistic harus diartikan hakim bukan sekedar sebagai corong undang-undang yang hanya sekedar melekatkan pasal dari undang-undang terhadap suatu peristiwa atau kasus yang sedang dihadapi, akan tetapi hakim harus dapat menterjemahkan atau menafsirkan pasal-pasal perundang-undangan sedemikian rupa, sehingga pasal-pasal tersebut up to date dan dapat menjadi sumber dari pembentukan hokum baru demi mewujudkan keadilan bagi masyarakat.
2. Pertimbangan demi mewujudkan keadilan
Salah satu tujuan suatu hokum dan peraturan perundang-undangan adalah demi terciptanya keadilan. Keadilan harus selalu melekat dalam putusan hakim karena keadilan merupakan tujuan utama dari hokum dan perundang-undangan itu sendiri. Untuk menegakkan hokum dan keadilan itulah pengadilan dibangun. Dengan pengadilan yang adil diharapkan akan mewujudkan ketertiban, ketentraman dan kedamaian.
Profesor Doktor Soetjipto Rahardjo, guru besar sosiologi hokum Fakultas hokum Universitas Diponegoro Semarang mengemukakan beberapa rumusan tentang keadilan menurut beberapa ahli hukum sebagai berikut:
• Adil adalah memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya untuknya. (Ulpianus).
• Adil adalah setiap orang bebas menentukan apa yang akan dilakukan asal ia tidak melanggar kebebasan yang sama dari orang lain. (Herbert Spencer)
• Adil adalah persamaan pribadi. (Nelson)
• Adil adalah kemerdekaan individu dalam mengejar kemakmuran individual dan membatasi kemerdekaan individu didalam batas-batas sesuai dengan kesejahteraan ummat manusia. (John Salmon)
• Adil adalah hasil konkrit yang dapat diberikan kepada masyarakat berupa pemuasan kebutuhan manusia yang sebanyak-banyaknya dengan pengurbanan yang sekecil-kecilnya. (Resco Pound)
Pertimbangan putusan hakim dari aspek keadilan ini adalah merupakan pertimbangan yang sangat mendasar dan inti, pertimbangan mana harus ditempatkan pada prioritas pertama dan utama diatas pertimbangan menurut hokum dan perundang-undangan, karena ternyata pertimbangan untuk mewujudkan keadilan adalah pertimbangan yang mempunyai muatan yang sangat komprehansif mencakup pertimbangan filosofis, sosiologis, psychologis dan relegius.
3. Pertimbangan untuk mewujudkan kemashlahatan
Pertimbangan yang harus dibuat oleh hakim khususnya hakim peradilan agama dalam menjatuhkan putusan juga harus memperhatikan dua hal; mashlahat dan madlarat. Putusan hakim harus mendatangkan mashlahat dan mencegah madlarat sebagaimana kaidah dalam filsafat hokum islam (ushul Figh) “Dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih”.
Ruang lingkup kemashlahatan yang menjadi tujuan hokum islam menurut ushul fiqh secara berurutan adalah sebagai berikut:
a. Kemashlahatan dalam memelihara agama,
b. Kemashlahatan dalam memelihara jiwa,
c. Kemashlahatan dalam memelihara akal,
d. Kemashlahatan dalam memelihara keturunan dan
e. Kemashlahatan memelihara harta.
Profesor Doktor Abdul Wahab Khollaf berpendapat, bahwa untuk mempergunakan hujjah kemashlahatan sampai kepada pembentukan hokum atas peristiwa yang tidak ada peraturan perundang-undangannya atau telah ada peraturan perundang-undangannya tetapi tidak jelas harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
a. Kemashlahatan tersebut harus pasti, bukan atas dasar duga-duga
b. Kemashlahatan tersebut harus merupakan kemashlahatan umum, bukan mashlahat yang bersifat perorangan
c. Pembentukan hokum melalui mashlahat tidak boleh bertentangan dengan hokum atau prisnsip yang telah ditetapkan oleh nash/perundang-undangan atau ijma’.
Untuk mengetahui mana yang mashlahat dan mana yang madlarat bergantung kepada kecerdasan hakim melalui kemampuan analisa yang cermat, obyektif dan empiric termasuk wawasannya tentang ‘urf atau tradisi, meskipun hasil kajiannya terbatas pada kemashlahatan duniawi.
Minggu, 15 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar