Minggu, 15 Maret 2009

Syariat Islam di Negara Tauhid

Syariah merupakan bagian integral dan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan ummat islam, karena setiap muslim memang diwajibkan bertahkim kepadanya sebagai mana yang terkandung dalam al-qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun didalam implementasinya terdapat problem yang serius lantaran ummat islam indonesia hidup di negara yang bukan negara islam dan berdampingan dengan ummat yang lainnya.

Problem itu antara lain berwajah kultural di mana sampai saat ini masih dalam pertanyaan apakah ummat islam Indonesia sudah mengalami pembatinan (internalisasi) nilai-nilai islam kedalam kehidupan pribadinya, sehingga mereka merasakan ada tuntutan untuk meengekspresikan syari’at itu dalam berfikir, bersikap dan bertindak, atau malah sebaliknya.

Problem lain yang terjadi akibat tidak meratanya internalisasi nilai islam sebagaimana tersebut di atas adalah betapa beragamnya realitas kelembagaan dan struktu sosial yang ada. Boleh jadi sesama muslim tidak bersepakat mengenai bagaimana seharusnya syariat dipraktekkan dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Secara epistimologis juga timbul problem dikala terjadi transformasi syariat dalam sistem hukum nasional, dimana terdapat perbedaan sikap politik antar komunitas muslim yang disebabkan tidak adanya klarifikasi epistimologis dalam menangkap isu yang berkembang, karena masing-masing komunitas kebanyakan telah terkontaminasi dikotomi epistemik.

Tetapi kini ummat islam menyadari bahwa perbedaan epistimologi itu perlu segera dicairkan, sebab jika tidak akan berimplikasi pada perbedaan sikap dan kepentingan politik, dan yang paling berperan dalam masalah ini adalah para elit bangsa dan ummat, baik umara’, ulama, maupun politisi.

Alamsyah Ratu Prawiranegara (menteri agama tahun 1978-1983) adalah orang yang paling berjasa dalam menyingkap sejarah yang dilupakan tentang pengorbanan ummat islam di negara Republik Indonesia; Beliau menegaskan, bahwa pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, datang utusan kaum nasrani indonesia timur menghadap bung Hatta menyampaikan pesan bahwa Indonesia timur tidak akan bergabung dengan NKRI jika 7 kata piagam jakarta itu (Dengan Kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya) tidak dicabut.

Pada tanggal 18 Agustus 1945 jam 08.00 pagi, bung Hatta mengundang K. H. Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Teuku M. Hasan dan Mr. Kasman Singodimejo untuk membahas keberatan kaum nasrani timur itu. Maka disepakati 7 kata dalam piagam Jakarta tersebut diganti dengan “Yang Maha Esa”, sehingga Kalimat “Ketuhanan dengan berkewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”

Ketika perubahan tersebut dibacakan di depan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), kalangan islam berdiri dan mengajukan protes keberatan dan mempertanyakan siapa yang merubah kesepakatan 7 kata itu. Ki Bagus Hadikusumo berdiri dan menjawab; “Kami yang merubah” sekaligus dengan tegas menjelaskan kepada sidang PPKI, bahwa maksud Ketuhanan Yang Maha Esa adalah TAUHID. Alhamdulillah dengan penegasan tauhid itu sidang paripurna PPKI menerima rumusan piagam jakarta yang baru untuk dijadikan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

Sejak dari bangsa Indonesia melawan penjajah yang dipelopori oleh para sultan dan para pejuang pergerakan sampai dengan memformulasikan dasar negara Pancasila, ummat Islam telah berkorban demi kemerdekaan negeri ini. Ada dua pengorbanan ummat islam yaitu memupus keinginannya mendirikan negara Islam Indonesia dan dengan lapang dada menghapus tujuh kata dalam piagam jakarta.

Hanya dengan penjelasan bahwa sila pertama dari pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, bermakna TAUHID lah, maka para pejuang kemerdekaan Indonesia yang mayoritas terdiri dari para ulama dan cendekiawan muslim dapat menerima Pancasila. Karena mereka memahami hakekatnya, bahwa negara Kesatuan Republik Indesia adalah negara derdasarkan tauhid atau dengan kata lain NEGARA TAUHID.

Eksistensi negara tauhid ini lebih tegas dinyatakan oleh Presiden Sukarno dalam dekrit Prisiden RI 5 Juli 1959, 14 tahun setelah proklamasi, bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan ia merupakan rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Artinya segala peraturan perundangan yang akan dibuat dan diberlakukan di negara Indonesia tidak boleh bertentangan dengan syari’at islam. Dan bagi pemeluk agama islam tetap diwajibkan untuk melaksanakan syari’at islam.

Bukti pelaksanaan syari’ah di Indonesia dapat dilihat pasal 29 UUD 1945, dan beberapa UU organiknya antara lain:

1. UU no. 1 tahun 1974, tentang Perkawinan,

2. UU no. 7 tahun 1989, tetang Peradilan Agama,

3. UU no. 3 tahun 2006, tentang perubahan atas UU no.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama,

4. UU no. 17 tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji,

5. UU no. 38 tahun 1999, tentang Pengelolaan Zakat,

6. UU no. 14 tahun 2004, tentang Wakaf,

7. UU no. 19 tahun 2008, tentang Surat Berharsga syari’ah Negara,

8. UU no. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah

Dalam hal adanya kesadaran mengimplementasikan syariah di Indonesia dapat pula disaksikan bahwa setiap presiden dan atau DPR membuat peraturan perundang-undangan baik secara ucapan atau tulisan selalu diawali dengan irah-irah “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA”. Oleh karena itu ummat islam harus sadar dan faham bahwa Indonesia ini milik kita, bukan milik siapa-siapa, memang Indonesia bukan negara Islam, akan tetapi Indonesia adalah negara tauhid yang tidak pernah mengabaikan syari’atnya. Kita harus bersyukur dan bangga menjadi warga negara Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar