Saat-saat ini tamu-tamu Allah telah berbondong-bondong menuju kota Makkah untuk melaksanakan ibadah haji, sebagai rukun Islam yang kelima. Ibadah haji sesungguhnya sarat dengan pelajaran dan hikmah. Bahkan penuh dengan contoh simbolik yang mengandung makna amat dalam. Namun oleh banyak kalangan termasuk para jama’ah haji sendiri sering tidak mendapat perhatian karena mungkin kesulitan memahaminya. Atas dasar kenyataan tersebut, maka perkenankanlah saya mengajak pembaca untuk bertafakkur tentang makna dan hakekat ibadah haji itu.
Berhaji untuk Memenuhi Panggilan Allah
Ketika seorang Muslim hendak beribadah haji, pertama-tama harus berketatapan hati, bahwa sesungguhnya ia akan menjadi tamu Allah (Dhuyufurrahman), bukan karena ingin mendapat panggilan pak dan bu Haji atau sekedar ingin rekreasi. Seorang haji harus senantiasa menggelorakan dalam hatinya “Labbaik Allahumma Labbaik” (ya Allah kami penuhi panggilan Mu). Oleh karena itu lakukanlah perjalanan haji dengan niat untuk menemui Dia Yang sedang menantikan anda.
Seturut dengan maksud mulia itu, maka seorang yang berhaji haruslah memenuhi persyaratan kunjungannya itu dengan jiwa dan raga yang bersih, karena Allah hanya akan menerima mereka yang bersih (sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan orang yang bersuci. Al Baqarah; 222). Berkenaan dengan ini para ulama selalu memberikan bimbingan kepada para calon jama’ah haji agar sebelum berangkat ketanah suci terlebih dahulu hendaknya membersihkan diri dari penyakit hati, seperti pemarah, sombong, hasut dan sebagainya, serta harus pula membersihkan diri dari najis dan hadasnya.
Alhasil orang yang hendak berhaji harus menyatakan niat dalam hati “Ilahi anta maksudi wa ridloka mathlubi”. Artinya : Tuhanku Engkaulah tujuanku dan ridlaMulah yang aku cari. Sedikit saja berubah niat itu, maka pasti tidak akan mendapatkan haji yang mabrur.
Miniatur Yaumul Mahsyar
Ketika jama’ah haji sampai di miqat (titik start ibadah haji) dia harus melepaskan segala atribut dan pakaian kesehariannya, termasuk tanda-tanda kebesarannya. Dia bersuci dari hadas dan najisnya dengan mandi ihram lalu menghadap Allah dengan shalat dua rokaat dan kemudian berikrar “Labbaik Allhumma hajjan “ atau “Labbaik Allhumma umroh”. (Aku penuhi panggilanmu ya Allah untuk berhaji/berumroh ).
Disaat berihrom di miqat perlu adanya kesadaran penuh, bahwa para jama’ah hakekatnya diajak menghayati kematian diri sendiri, ia harus meninggalkan urusan dunia, kemudian ia bersiap menghampiri Allah SWT Dengan berpakaian bagaikan kafan berkumpul dipadang Arafah bersama-sama berjuta-juta jama’ah haji lainnya dengan satu tujuan, “kembali kepada Allah “. Di padang Arafah inilah para jama’ah haji mempertajam daya ma’rifahnya kepada Allah SWT dan mendekatinya, bagaikan kita dikumpulkan di padang Mahsyar di hari Akherat kelak. Bedanya ialah di Arafah kita perlu bertaqarub dan mengenal Allah, sedang di Mahsyar kita akan mempertanggung jawabkan segala amal perbuatan kita kepadaNya.
Memerankan Diri Sebagai Adam, Hawa, Hajar, Ibrahim dan Ismail
Sesungguhnya berhaji itu tak lain tengah napak tilas kehidupan orang-orang saleh dan mulia. Para haji itu setidak-tidaknya dapat memerankan dirinya sebagai Adam hingga Ismail AS. Ketika jamaah haji berkumpul untuk wukuf di Arafah, seharusnya mereka menghayati peran Adam dan Hawa, karena di Arafah inilah moyang kita Adam dan Hawa dipertemukan oleh Allah SWT, setelah terpisah seratus tahun lamanya sejak mereka diturunkan dari surga. Pelajaran yang sangat berharga dalam mempersonifikasikan Adam dan Hawa adalah pertobatan Adam yang begitu lama atas dosanya melanggar larangan Allah SWT. Selama seratus tahun Adam terus menerus bermunajat kepada Allah dengan ucapannya, “ Robbana dholamna anfusana, wa’ilamtaghfirlana watarhamna lanakunnanna minal hosirin “( wahai Tuhan, aku telah aniaya terhadap diriku sendiri dan jika engkau tidak memberi ampunan kepada kami dan tidak menyayangi kami, sungguh kami termasuk orang-orang yang merugi [Al Baqarah; 35-37, dan Al a’raf;11-23 ). Maka jika ingin haji kita lebih bermakna jadilah seperti Adam dan atau Hawa selama di Arafah, beristighfar dan bertobat. Insya Allah makbul.
Setelah jama’ah haji wukuf di Arafah hingga datang maghrib tanggal 10 Dzulhijjah, bergeraklah jutaan jema’ah haji keluar Arafah menuju Muzdalifah, malam itu jama’ah haji harus tinggal sejenak di Muzdalifah sampai tengah malam. Kemudian sejak dini hari itu jamaah melanjutkan perjalanannya menuju Mina dan tinggal disana hingga tanggal 12 atau 13 Dzulhijjah untuk melontar jamarat. Saat-saat ini jama’ah hiruk pikuk memerankan Ibrahim yang tulus ikhlas melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih putranya, Ismail sebagai qurban ( Assaffaat; 99-111 ). Saat ini pula jema’ah haji berduyun-duyun gegap gempita dengan di penuhi perasaan sangat menegangkan memperagakan kembali Ibrahim melempar iblis berkali-kali, lantaran iblis selalu menggoda agar Ibrahim dan Ismail membatalkan niat pengorbanannya. Wahai jama’ah haji, selama di Mina tiga atau empat hari anda harus mampu menjadi Ibrahim, Ismail dan Hajar. Ketiga tokoh agung ini harus mewarnai jiwa anda, mereka begitu tulus dalam ketaatannya memenuhi perintah Allah dan dengan tegar menghalau iblis yang menggodanya. Jika anda mampu maka anda akan sama seperti mereka, anda akan menjadi muslimin, mukminin, mukhsinin, mukhlisin, dan muttaqin sejati seperti mereka.
Merubah Orientasi Hidup Hanya Untuk Allah
Di Mina para jama’ah haji telah menang melawan syaithan, akan tetapi bukan lantas mereka telah cukup dan selesai sampai disitu, karena mereka masih harus terus-menerus mengabadikan kemenangan itu. Caranya adalah mereka harus bergerak kembali ke titik orbit awal yaitu Ka’bah, untuk bertawaf mengelilinginya bersama-sama dengan jutaan manusia yang lain. Seorang yang bertawaf tidak ada kelebihan pribadi kecuali siapa yang paling bertaqwa diantara mereka ( Al Hujurat;13 )
.
Siapa saja yang beriman pasti terharu dan meneteskan air mata, begitu ia berjumpa dengan Ka’bah. Begitu hebatnya Baitullah itu hingga menggetarkan hati kita; Subhanallah Allahu akbar, kita pasti akan berkata dalam hati “Ya Allah disini Engkau memanggilku dan kini aku telah datang memenuhi panggilanmu.” Ketika itu kita hanyut dan tajalli kepada Allah, karena saat itu kita memang telah menjadi ahlullah atau keluarga Allah.
Dengan mengangkat tangan seraya berikrar “Bismillah huallah huakbar” atau jika mampu dengan menyentuh dan mencium Hajar Aswad seluruh jama’ah haji harus berbaiat dan menyatakan sumpah setia memilih orientasi hidupnya hanya untuk Allah SWT, karena dialah pencipta dan pemelihara mereka. Mereka harus melepaskan persekutuan mereka dengan selain Allah, karena Allah maha segala-galanya dan menjadi tempat bergantungnya segala sesuatu. Al Qur’an menyatakan “ Yadullah fauqa aidiihim” ( Tangan Allah diatas tangan mereka. Al Fath;10 ). Dan ditegaskan pula didalam surat Ali Imron ayat 26 bahwa Allahlah pemilik kekuasaan, dia memberi kekuasaan kepada dan mencabut kekuasaan dari siapa saja yang dikehendaki dan Dia memberi kemenanga atau kekalahan kepada siapa saja yang dikehendaki.
Begitu seseorang selesai berhaji, jadilah ia sosok manusia yang sadar akan keberadaan dierinyanya serta telah mengenal Tuhannya. Perkanalannya dengan Allah itu harus terus-menerus dipertahankannya hingga ia kembali kakampung halamannya dengan berpakaian serba putih, pertanda ia telah suci lahir batin. Saat itulah para hujjajmemulai lembaran baru dalam hidupnya , bahwa manusia ini hakekatnya adalah “Minallah, Fillah, Billah, Lillah dan Ilallah”. Inilah orientasi hidup bagi haji yang mabrur.
Semoga essensi ibadah haji ini menambah bekal bagi jamaah haji kita dan memperkaya ummat Islam dalam pemahamannya tentang haji. Amin
Drs. H. Masrum. M. Noor
Rabu, 13 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar