Jumat, 15 Mei 2009
MERIAS WAJAH UMMAT
Alhamdulillah wassyukru lillah, segala pujian dan pujaan hanyalah milik Allah semata wassholaatu wassalaamu alaa Muhamad wa alaa aalihi washohbihi ajmaiin, sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah bagi nabi Muhammad, keluarga dan seluruh sahabat-sahabatnya.
Saudara-saudara…
Tiada seorang pun yang mampu menggiring kebaikan kecuali Allah
Tiada seorang juapun yang dapat menghalau kejahatan melainkan Allah
Tiada satu rahmatpun kecuali merupakan anugerah Allah
Tiada daya dan kekuatan sedikitpun kecuali atas pertolongan Allah
Ungkapan di atas adalah manifestasi setiap kita yang selama ini mempunyai perhatian kuat terhadap wajah keummatan ummat islam yang dahulu cantik mempesona ternyata kini telah berubah, bahkan kadang-kadang sudah sulit kita kenali lagi. Ummat kita telah berwajah bopeng dan carut marut. Betapa banyak ummat kita yang dlolim dan tak jujur, betapa banyak ummat kita yang jadi pemarah, beringas, brutal dan tak punya rasa malu, dan terlalu banyak dari ummat kita yang menjadi pelaku dan pengayom kemaksiyatan dan kedurhakaan. Last but not list Ummat kita kini telah kehilangan jati dirinya yang hakiki sebagai ummat yang ber ahlakul kariimah.
Bagai pohon kering di tengah padang pasir.
Penyebab utama dari perubahan wajah keummatan sebagai mana yang kita saksikan tak lain dan tak bukan karena kebanyakan kita telah memposisikan diri kita sedemikian jauhnya dengan Allah swt. Bahkan kita terlalu asyik dengan dunia kita sendiri hinga melupakanNya. Akhirnya kita lepas kontrol tanpa koridor dan bingkai keilahian, sehingga bagai pohon kering ditengah padang pasir, kering di akarnya dan gersang didahannya; hati kita kering dari hidayah Allah dan anggota badan kita jauh dari rahmat Allah swt. Itulah akibatnya jika kita berani meninggalkan dan melupakan Allah.
Dalam surat al Hasyr Allah berpesan kepada kita: “wala takuunuu kallaziina nasullaha faansaahum anfusahum”. Dan janganl;ah kamu sekalian seperti orang-orang yang melupakan Allah kemudian Allah melupakan mereka.
Saudara-saudara….
Telah banyak kisah orang-orang dan ummat terdahulu yang karena melupakan Allah , lalu meninggalkan akhlakul karimah, maka kemudian mereka dilupakan oleh Allah. artinya bahwa Allah tidak lagi menyayanginya, maka Allah lalu menurunkan azabNya.
Dan akhirnya binasalah mereka. Ingatkah kita akan kejadian yang menimpa kaum Ad, kaum Tsamud, kaumnya nabi luth, kaumnya nabi Syuaib dan kaumnya nabi Musa ???
Sebenarnya Allah telah sering memberi peringatan kepada kita melalui musibah-musibah dan keterpurukan seluruh aspek kehidupan kita akhir-akhir ini. Namun selalu saja kita tidak pernah menyadarinya. Akankah kita menjadi ummat yang lebih buruk dari pada ummat terdahulu itu?
Upaya merias wajah Ummat
Jika kita ingin selamat, kita harus segera ingat Allah dan segera merias wajah ummat ini agar kembali cantik dan simpatik dengan akhlakul kariimah melalui upaya-upaya sebagai berikut:
1. Bangun keimanan ummat menjadi iman yang haqiqi;
Iman yang haqiqi adalah pembenaran dalam hati tentang adanya Allah, berikrar dengan lesan tentang keimanannya dan beramal sesuai dengan keimannannya itu.
(tashdiqun fil qolb, taqrirun billisan, amalun bil arkan)
Akar penyebab kerusakan wajah ummat kita saat ini adalah masalah iman ini. Iman yang dimiliki oleh kebanyakan kita ternyata tidak mampu menyentuh kalbu dan tidak terpancar keseluruh anggota tubuh. Kalimah thoyyibah itu tidak tumbuh sebagai pohon yang rindang yang akarnya terhunjam kuat dan cabangnya menjulang tinggi, tetapi ia dibiarkan kering kerontang tang bermakna.
Dengan iman setiap kita akan berada dalam bingkai akhlaqul kariimah. Dengan akhlaqul kariimah wajah ummat kita akan sangat menawan, dan dengan demikian ummat kita akan menjadi ummat yang terbaik dimuka bumi ini.
2. Bangun Ukhuwwah Islamiyyah;
Dalam Fiqh Islam kita kenal tiga ukhuwwah; ukhuwwah basyariyyah, ukhuwwah wathoniyyah dan ukhuwwah islamiyyah . Namun dari ketiga ukhuwwah diatas yang paling urgen adalah ukhuwwah islamiyyah atau persaudaraan diantara orang-oerang islam sendiri, karena hanya dengan ukhuwwah islamiyyahlah upaya merias wajah ummat ini dapat kita harapkan . Kita semua tahu bahwa carut marutnya wajah keummatan kita selama ini justru disebabkan oleh begitu banyaknya firqoh diantara kita sehingga kita terjebak kedalam kotak-kotak yang tidak bermanfaat, akibatnya kini kita tidak mendapat kasih sayng Allah swt.
Mari kita renungkan firman Allah Asshof 40; “Innallaha yuhibbullaziina yuqootiluuna fi sabiilihi shoffan kaannahum bunyaanun marshush” (sesunguhnya Allah mengasihi orang-orang yang bnerjuang dijalan Nya dalam satu barisan seolah-olah mereka suatu bangunan yang tersusun rapih).
3. Tegakkan amart ma’ruf nahi munkar
Dalam surat ali imran 110 sebagai mana tersebut di atas dapat kita tarik pelajaran, bahwa amar ma’ruf nahi munkar merupakan syarat bagi terbentuknya khoiro ummah itu. Sudah barang tentu amar ma’ruf nahi munkar ini harus dipahami sebagai kewajiban setiap kita sesuau dengan fungsi dan kedudukan kita masing-masing.
Kita semua memikul kewajiban untuk berda’wah untuk kembali kejalan Allah baik dengan harta maupun jiwa kita. (baca ali imran 104, an nahl 125 dan al hadits)
MERIAS WAJAH UMMAT
Alhamdulillah wassyukru lillah, segala pujian dan pujaan hanyalah milik Allah semata wassholaatu wassalaamu alaa Muhamad wa alaa aalihi washohbihi ajmaiin, sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah bagi nabi Muhammad, keluarga dan seluruh sahabat-sahabatnya.
Saudara-saudara…
Tiada seorang pun yang mampu menggiring kebaikan kecuali Allah
Tiada seorang juapun yang dapat menghalau kejahatan melainkan Allah
Tiada satu rahmatpun kecuali merupakan anugerah Allah
Tiada daya dan kekuatan sedikitpun kecuali atas pertolongan Allah
Ungkapan di atas adalah manifestasi setiap kita yang selama ini mempunyai perhatian kuat terhadap wajah keummatan ummat islam yang dahulu cantik mempesona ternyata kini telah berubah, bahkan kadang-kadang sudah sulit kita kenali lagi. Ummat kita telah berwajah bopeng dan carut marut. Betapa banyak ummat kita yang dlolim dan tak jujur, betapa banyak ummat kita yang jadi pemarah, beringas, brutal dan tak punya rasa malu, dan terlalu banyak dari ummat kita yang menjadi pelaku dan pengayom kemaksiyatan dan kedurhakaan. Last but not list Ummat kita kini telah kehilangan jati dirinya yang hakiki sebagai ummat yang ber ahlakul kariimah.
Bagai pohon kering di tengah padang pasir.
Penyebab utama dari perubahan wajah keummatan sebagai mana yang kita saksikan tak lain dan tak bukan karena kebanyakan kita telah memposisikan diri kita sedemikian jauhnya dengan Allah swt. Bahkan kita terlalu asyik dengan dunia kita sendiri hinga melupakanNya. Akhirnya kita lepas kontrol tanpa koridor dan bingkai keilahian, sehingga bagai pohon kering ditengah padang pasir, kering di akarnya dan gersang didahannya; hati kita kering dari hidayah Allah dan anggota badan kita jauh dari rahmat Allah swt. Itulah akibatnya jika kita berani meninggalkan dan melupakan Allah.
Dalam surat al Hasyr Allah berpesan kepada kita: “wala takuunuu kallaziina nasullaha faansaahum anfusahum”. Dan janganl;ah kamu sekalian seperti orang-orang yang melupakan Allah kemudian Allah melupakan mereka.
Saudara-saudara….
Telah banyak kisah orang-orang dan ummat terdahulu yang karena melupakan Allah , lalu meninggalkan akhlakul karimah, maka kemudian mereka dilupakan oleh Allah. artinya bahwa Allah tidak lagi menyayanginya, maka Allah lalu menurunkan azabNya.
Dan akhirnya binasalah mereka. Ingatkah kita akan kejadian yang menimpa kaum Ad, kaum Tsamud, kaumnya nabi luth, kaumnya nabi Syuaib dan kaumnya nabi Musa ???
Sebenarnya Allah telah sering memberi peringatan kepada kita melalui musibah-musibah dan keterpurukan seluruh aspek kehidupan kita akhir-akhir ini. Namun selalu saja kita tidak pernah menyadarinya. Akankah kita menjadi ummat yang lebih buruk dari pada ummat terdahulu itu?
Upaya merias wajah Ummat
Jika kita ingin selamat, kita harus segera ingat Allah dan segera merias wajah ummat ini agar kembali cantik dan simpatik dengan akhlakul kariimah melalui upaya-upaya sebagai berikut:
1. Bangun keimanan ummat menjadi iman yang haqiqi;
Iman yang haqiqi adalah pembenaran dalam hati tentang adanya Allah, berikrar dengan lesan tentang keimanannya dan beramal sesuai dengan keimannannya itu.
(tashdiqun fil qolb, taqrirun billisan, amalun bil arkan)
Akar penyebab kerusakan wajah ummat kita saat ini adalah masalah iman ini. Iman yang dimiliki oleh kebanyakan kita ternyata tidak mampu menyentuh kalbu dan tidak terpancar keseluruh anggota tubuh. Kalimah thoyyibah itu tidak tumbuh sebagai pohon yang rindang yang akarnya terhunjam kuat dan cabangnya menjulang tinggi, tetapi ia dibiarkan kering kerontang tang bermakna.
Dengan iman setiap kita akan berada dalam bingkai akhlaqul kariimah. Dengan akhlaqul kariimah wajah ummat kita akan sangat menawan, dan dengan demikian ummat kita akan menjadi ummat yang terbaik dimuka bumi ini.
2. Bangun Ukhuwwah Islamiyyah;
Dalam Fiqh Islam kita kenal tiga ukhuwwah; ukhuwwah basyariyyah, ukhuwwah wathoniyyah dan ukhuwwah islamiyyah . Namun dari ketiga ukhuwwah diatas yang paling urgen adalah ukhuwwah islamiyyah atau persaudaraan diantara orang-oerang islam sendiri, karena hanya dengan ukhuwwah islamiyyahlah upaya merias wajah ummat ini dapat kita harapkan . Kita semua tahu bahwa carut marutnya wajah keummatan kita selama ini justru disebabkan oleh begitu banyaknya firqoh diantara kita sehingga kita terjebak kedalam kotak-kotak yang tidak bermanfaat, akibatnya kini kita tidak mendapat kasih sayng Allah swt.
Mari kita renungkan firman Allah Asshof 40; “Innallaha yuhibbullaziina yuqootiluuna fi sabiilihi shoffan kaannahum bunyaanun marshush” (sesunguhnya Allah mengasihi orang-orang yang bnerjuang dijalan Nya dalam satu barisan seolah-olah mereka suatu bangunan yang tersusun rapih).
3. Tegakkan amart ma’ruf nahi munkar
Dalam surat ali imran 110 sebagai mana tersebut di atas dapat kita tarik pelajaran, bahwa amar ma’ruf nahi munkar merupakan syarat bagi terbentuknya khoiro ummah itu. Sudah barang tentu amar ma’ruf nahi munkar ini harus dipahami sebagai kewajiban setiap kita sesuau dengan fungsi dan kedudukan kita masing-masing.
Kita semua memikul kewajiban untuk berda’wah untuk kembali kejalan Allah baik dengan harta maupun jiwa kita. (baca ali imran 104, an nahl 125 dan al hadits)
Rabu, 13 Mei 2009
ANDA GTELAH MEMILIH DAN ANDA HARUS BERTANGGUNG JAWAB
Manusia yang dibekali potensi akal dengan memiliki kemampuan berinisiatif dan berkreasi dinilai oleh Allah dapat menjadi KhalifahNya dimuka bumi ini, akan tetapi
Tidak semua manusia dapat mengaktualisasikan potensi tersebut secara optimal, sehingga tidak semua orang mampu merumuskan langkah-langkah
Dari ketidaksamaan kemampuan itulah maka kita dituntut untuk memilih peran kita masing-masing dalam mengemban kekhalifahan itu. Peran-peran mana telah terbentang luas dihadapan kita, sehingga tidak sedikit pula diantara kita yang mengambil pilihan ganda atas beberapa peran yang berbeda.
Dari segi keberagamaan, kini anad tentu telah berada dalam pilihan anda, Yahudikah anda, Kristiankah anda, Budhiskah anda, atau bahkan anda tidak beragama, maka pilihan anda itu harus anda pertanggung jawabkan kehadirat Allah SWT.
Dari segi peran publik tentu anda juga telah berada dalam pilihan anda. birokratkah anda, pengusahakah anda, tekhnokratkah anda, petanikah anda, pedagangkah anda, tentarakah anda, pelajarkah anda, dokterkah anda, dokterkah anda, hakimkah anda, buruhkah anda, pengojekkah anda, pengemiskah anda bahkan jadi apapun anda termasuk jika anda memilih menjadi penganggur, pasti anda harus mempertanggungjawabkan pilihan anda itu kepada Allah SWT.
Pendek kata kapan kita menentukan pilihan maka sekaligus kita meletakkan tanggung jawab kepada Allah SWT. Bahkan bukan hanya pilihan-pilihan yang kasat mata, tetapi juga pilihan-pilihan yang bathin. Karena Allah maha mengetahui yang lahir dan yang bathin.
Satu hal penting kita perhatikan ialah standar apa yang dipergunakan oleh Allah dalam menentukan sukses tidajnya pertanggung jawaban kita itu. Peretama Allah akan mencermati niat kita dalam menentukan pilihan apakah memenuhi qaidah.
“Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah seru sekalian alam”
Kedua : Allah akan melihat cara kita apakah memenuhi syarat Allah atau tidak dan ketiga : Allah akan melihat tujuan pilihan kita. Apapun pilihan kita tujuannya harus dalam kerangka mencari ridho Allah SWT.
“Ya Tuhanku, Engkaulah tujuanku dan ridhomulah pencarianku “.
Esssensi Ibadah Haji
Berhaji untuk Memenuhi Panggilan Allah
Ketika seorang Muslim hendak beribadah haji, pertama-tama harus berketatapan hati, bahwa sesungguhnya ia akan menjadi tamu Allah (Dhuyufurrahman), bukan karena ingin mendapat panggilan pak dan bu Haji atau sekedar ingin rekreasi. Seorang haji harus senantiasa menggelorakan dalam hatinya “Labbaik Allahumma Labbaik” (ya Allah kami penuhi panggilan Mu). Oleh karena itu lakukanlah perjalanan haji dengan niat untuk menemui Dia Yang sedang menantikan anda.
Seturut dengan maksud mulia itu, maka seorang yang berhaji haruslah memenuhi persyaratan kunjungannya itu dengan jiwa dan raga yang bersih, karena Allah hanya akan menerima mereka yang bersih (sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan orang yang bersuci. Al Baqarah; 222). Berkenaan dengan ini para ulama selalu memberikan bimbingan kepada para calon jama’ah haji agar sebelum berangkat ketanah suci terlebih dahulu hendaknya membersihkan diri dari penyakit hati, seperti pemarah, sombong, hasut dan sebagainya, serta harus pula membersihkan diri dari najis dan hadasnya.
Alhasil orang yang hendak berhaji harus menyatakan niat dalam hati “Ilahi anta maksudi wa ridloka mathlubi”. Artinya : Tuhanku Engkaulah tujuanku dan ridlaMulah yang aku cari. Sedikit saja berubah niat itu, maka pasti tidak akan mendapatkan haji yang mabrur.
Miniatur Yaumul Mahsyar
Ketika jama’ah haji sampai di miqat (titik start ibadah haji) dia harus melepaskan segala atribut dan pakaian kesehariannya, termasuk tanda-tanda kebesarannya. Dia bersuci dari hadas dan najisnya dengan mandi ihram lalu menghadap Allah dengan shalat dua rokaat dan kemudian berikrar “Labbaik Allhumma hajjan “ atau “Labbaik Allhumma umroh”. (Aku penuhi panggilanmu ya Allah untuk berhaji/berumroh ).
Disaat berihrom di miqat perlu adanya kesadaran penuh, bahwa para jama’ah hakekatnya diajak menghayati kematian diri sendiri, ia harus meninggalkan urusan dunia, kemudian ia bersiap menghampiri Allah SWT Dengan berpakaian bagaikan kafan berkumpul dipadang Arafah bersama-sama berjuta-juta jama’ah haji lainnya dengan satu tujuan, “kembali kepada Allah “. Di padang Arafah inilah para jama’ah haji mempertajam daya ma’rifahnya kepada Allah SWT dan mendekatinya, bagaikan kita dikumpulkan di padang Mahsyar di hari Akherat kelak. Bedanya ialah di Arafah kita perlu bertaqarub dan mengenal Allah, sedang di Mahsyar kita akan mempertanggung jawabkan segala amal perbuatan kita kepadaNya.
Memerankan Diri Sebagai Adam, Hawa, Hajar, Ibrahim dan Ismail
Sesungguhnya berhaji itu tak lain tengah napak tilas kehidupan orang-orang saleh dan mulia. Para haji itu setidak-tidaknya dapat memerankan dirinya sebagai Adam hingga Ismail AS. Ketika jamaah haji berkumpul untuk wukuf di Arafah, seharusnya mereka menghayati peran Adam dan Hawa, karena di Arafah inilah moyang kita Adam dan Hawa dipertemukan oleh Allah SWT, setelah terpisah seratus tahun lamanya sejak mereka diturunkan dari surga. Pelajaran yang sangat berharga dalam mempersonifikasikan Adam dan Hawa adalah pertobatan Adam yang begitu lama atas dosanya melanggar larangan Allah SWT. Selama seratus tahun Adam terus menerus bermunajat kepada Allah dengan ucapannya, “ Robbana dholamna anfusana, wa’ilamtaghfirlana watarhamna lanakunnanna minal hosirin “( wahai Tuhan, aku telah aniaya terhadap diriku sendiri dan jika engkau tidak memberi ampunan kepada kami dan tidak menyayangi kami, sungguh kami termasuk orang-orang yang merugi [Al Baqarah; 35-37, dan Al a’raf;11-23 ). Maka jika ingin haji kita lebih bermakna jadilah seperti Adam dan atau Hawa selama di Arafah, beristighfar dan bertobat. Insya Allah makbul.
Setelah jama’ah haji wukuf di Arafah hingga datang maghrib tanggal 10 Dzulhijjah, bergeraklah jutaan jema’ah haji keluar Arafah menuju Muzdalifah, malam itu jama’ah haji harus tinggal sejenak di Muzdalifah sampai tengah malam. Kemudian sejak dini hari itu jamaah melanjutkan perjalanannya menuju Mina dan tinggal disana hingga tanggal 12 atau 13 Dzulhijjah untuk melontar jamarat. Saat-saat ini jama’ah hiruk pikuk memerankan Ibrahim yang tulus ikhlas melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih putranya, Ismail sebagai qurban ( Assaffaat; 99-111 ). Saat ini pula jema’ah haji berduyun-duyun gegap gempita dengan di penuhi perasaan sangat menegangkan memperagakan kembali Ibrahim melempar iblis berkali-kali, lantaran iblis selalu menggoda agar Ibrahim dan Ismail membatalkan niat pengorbanannya. Wahai jama’ah haji, selama di Mina tiga atau empat hari anda harus mampu menjadi Ibrahim, Ismail dan Hajar. Ketiga tokoh agung ini harus mewarnai jiwa anda, mereka begitu tulus dalam ketaatannya memenuhi perintah Allah dan dengan tegar menghalau iblis yang menggodanya. Jika anda mampu maka anda akan sama seperti mereka, anda akan menjadi muslimin, mukminin, mukhsinin, mukhlisin, dan muttaqin sejati seperti mereka.
Merubah Orientasi Hidup Hanya Untuk Allah
Di Mina para jama’ah haji telah menang melawan syaithan, akan tetapi bukan lantas mereka telah cukup dan selesai sampai disitu, karena mereka masih harus terus-menerus mengabadikan kemenangan itu. Caranya adalah mereka harus bergerak kembali ke titik orbit awal yaitu Ka’bah, untuk bertawaf mengelilinginya bersama-sama dengan jutaan manusia yang lain. Seorang yang bertawaf tidak ada kelebihan pribadi kecuali siapa yang paling bertaqwa diantara mereka ( Al Hujurat;13 )
.
Siapa saja yang beriman pasti terharu dan meneteskan air mata, begitu ia berjumpa dengan Ka’bah. Begitu hebatnya Baitullah itu hingga menggetarkan hati kita; Subhanallah Allahu akbar, kita pasti akan berkata dalam hati “Ya Allah disini Engkau memanggilku dan kini aku telah datang memenuhi panggilanmu.” Ketika itu kita hanyut dan tajalli kepada Allah, karena saat itu kita memang telah menjadi ahlullah atau keluarga Allah.
Dengan mengangkat tangan seraya berikrar “Bismillah huallah huakbar” atau jika mampu dengan menyentuh dan mencium Hajar Aswad seluruh jama’ah haji harus berbaiat dan menyatakan sumpah setia memilih orientasi hidupnya hanya untuk Allah SWT, karena dialah pencipta dan pemelihara mereka. Mereka harus melepaskan persekutuan mereka dengan selain Allah, karena Allah maha segala-galanya dan menjadi tempat bergantungnya segala sesuatu. Al Qur’an menyatakan “ Yadullah fauqa aidiihim” ( Tangan Allah diatas tangan mereka. Al Fath;10 ). Dan ditegaskan pula didalam surat Ali Imron ayat 26 bahwa Allahlah pemilik kekuasaan, dia memberi kekuasaan kepada dan mencabut kekuasaan dari siapa saja yang dikehendaki dan Dia memberi kemenanga atau kekalahan kepada siapa saja yang dikehendaki.
Begitu seseorang selesai berhaji, jadilah ia sosok manusia yang sadar akan keberadaan dierinyanya serta telah mengenal Tuhannya. Perkanalannya dengan Allah itu harus terus-menerus dipertahankannya hingga ia kembali kakampung halamannya dengan berpakaian serba putih, pertanda ia telah suci lahir batin. Saat itulah para hujjajmemulai lembaran baru dalam hidupnya , bahwa manusia ini hakekatnya adalah “Minallah, Fillah, Billah, Lillah dan Ilallah”. Inilah orientasi hidup bagi haji yang mabrur.
Semoga essensi ibadah haji ini menambah bekal bagi jamaah haji kita dan memperkaya ummat Islam dalam pemahamannya tentang haji. Amin
Drs. H. Masrum. M. Noor
Misteri Ayat Kursi
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa saat ayat ini diturunkan, turun pula 70.000 malaikat sebagai pengantarnya dan pada saat itu dunia syetan terjadi keguncangan yang luar biasa, hingga satun sama lain saling menyerang karena sedang dalam kegelisahan, kepanasan, dan ketakutan yang amat dahsyat. Lalu semua syetan berkumpul disekeliling iblis untuk mengadukan mala petaka yang menimpa mereka akibat turunnya ayat kursi itu.
Sungguh hebat kemulyaan ayat yang oleh Nabi sendiri diberi nama ayat Kursi ini. Oleh karena itu para ulama telah memberikan kajian yang mendalam walaupun hakikinya tetap misteri. Diantara ulama seperti Ibnu Katsir memberikaa kajian bahwa kehebatan ayat Kursi terletak pada adanya 7 kalimat dalam ayat Kursi yang seluruhnya memberikan penegasan atas kemaha kuasaan Allah SWT. Dalam ayat ini tersebut secara bersamaan asma zat dan asma sifat yang kemudian dikenal dengan Asmaul A’dhom (Asmaul Husna yang paling agung).
Kecuali Ibnu Katsir beberapa ulama ada yang dapat menangkap lambing lambing Al-Qur’an . Bahwa dalam ayat Kursi terdapat 17 kata yang merujuk kepada Allah sedang jumlah kata seluruhnya 50 kata.Angka-angka tersebut diantara ulama-ulama yang mencermati sisi ini adalah adalah Imam AL Ghozali dan Prof. Dr. Qurash Syihab berpendapat bahwa ada makna yang misteri tetapi berkhasiat pada angka-angka tersebut.
Angka 17 ternyata mempunyai nilai korelatif dengan 17 Ramadhan sebagai saat turunnya wahyu pertama dan awal terjadinya perang Badar. 17 ternyata juga merupakan jumlah rakaat shalat fardhu kita yang nerupakan dispensasi Allah dari 50 waktu yang semula diwajibkan saat Nabi Mi’raj.
Kita bebas memilih antara pecaya atau tidak hasil kajian para ulama diatas. Yang jelas kajian itu banyak di ikuti oleh para ulama shufi. Yang penting kita semua harus yakin bahwa ayat Kursi adalah ayat yang paling agung dan sangat dalam hikmahnya. Jadikanlah ia salah satu dari wirid anda.
Minggu, 15 Maret 2009
Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Hakim
Suatu pertimbangan hokum dalam putusan hakim dipandang cukup apabila memenuhi sayarat minimal pertimbangan sebagai berikut:
1. Pertimbangan menurut hokum dan perundang-undangan
Hakim dalam mengambil putusan atas suatu perkara yang diadili harus membuat pertimbanngan berdasarkan hokum dan atau legal yuridis yang meliputi hokum formil dan hokum materiil baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis sebagai mana maksud pasal 5 ayat (1) UU nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang tidak dipertimbangkan menurut/berdasarkan hokum adalah batal demi hokum.
Putusan yang berdasarkan pertimbangan menurut hokum sering disebut sebagai putusan legalistic dan tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Anggapan keliru ini perlu diluruskan sehubungan dengan proses lahirnya suatu undang-undang dimana oleh eksekutif dan legislative segala analisa dan alas an keadilan telah dipertimbangkan secara cermat dan saksama.
Azas legalistic harus diartikan hakim bukan sekedar sebagai corong undang-undang yang hanya sekedar melekatkan pasal dari undang-undang terhadap suatu peristiwa atau kasus yang sedang dihadapi, akan tetapi hakim harus dapat menterjemahkan atau menafsirkan pasal-pasal perundang-undangan sedemikian rupa, sehingga pasal-pasal tersebut up to date dan dapat menjadi sumber dari pembentukan hokum baru demi mewujudkan keadilan bagi masyarakat.
2. Pertimbangan demi mewujudkan keadilan
Salah satu tujuan suatu hokum dan peraturan perundang-undangan adalah demi terciptanya keadilan. Keadilan harus selalu melekat dalam putusan hakim karena keadilan merupakan tujuan utama dari hokum dan perundang-undangan itu sendiri. Untuk menegakkan hokum dan keadilan itulah pengadilan dibangun. Dengan pengadilan yang adil diharapkan akan mewujudkan ketertiban, ketentraman dan kedamaian.
Profesor Doktor Soetjipto Rahardjo, guru besar sosiologi hokum Fakultas hokum Universitas Diponegoro Semarang mengemukakan beberapa rumusan tentang keadilan menurut beberapa ahli hukum sebagai berikut:
• Adil adalah memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya untuknya. (Ulpianus).
• Adil adalah setiap orang bebas menentukan apa yang akan dilakukan asal ia tidak melanggar kebebasan yang sama dari orang lain. (Herbert Spencer)
• Adil adalah persamaan pribadi. (Nelson)
• Adil adalah kemerdekaan individu dalam mengejar kemakmuran individual dan membatasi kemerdekaan individu didalam batas-batas sesuai dengan kesejahteraan ummat manusia. (John Salmon)
• Adil adalah hasil konkrit yang dapat diberikan kepada masyarakat berupa pemuasan kebutuhan manusia yang sebanyak-banyaknya dengan pengurbanan yang sekecil-kecilnya. (Resco Pound)
Pertimbangan putusan hakim dari aspek keadilan ini adalah merupakan pertimbangan yang sangat mendasar dan inti, pertimbangan mana harus ditempatkan pada prioritas pertama dan utama diatas pertimbangan menurut hokum dan perundang-undangan, karena ternyata pertimbangan untuk mewujudkan keadilan adalah pertimbangan yang mempunyai muatan yang sangat komprehansif mencakup pertimbangan filosofis, sosiologis, psychologis dan relegius.
3. Pertimbangan untuk mewujudkan kemashlahatan
Pertimbangan yang harus dibuat oleh hakim khususnya hakim peradilan agama dalam menjatuhkan putusan juga harus memperhatikan dua hal; mashlahat dan madlarat. Putusan hakim harus mendatangkan mashlahat dan mencegah madlarat sebagaimana kaidah dalam filsafat hokum islam (ushul Figh) “Dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih”.
Ruang lingkup kemashlahatan yang menjadi tujuan hokum islam menurut ushul fiqh secara berurutan adalah sebagai berikut:
a. Kemashlahatan dalam memelihara agama,
b. Kemashlahatan dalam memelihara jiwa,
c. Kemashlahatan dalam memelihara akal,
d. Kemashlahatan dalam memelihara keturunan dan
e. Kemashlahatan memelihara harta.
Profesor Doktor Abdul Wahab Khollaf berpendapat, bahwa untuk mempergunakan hujjah kemashlahatan sampai kepada pembentukan hokum atas peristiwa yang tidak ada peraturan perundang-undangannya atau telah ada peraturan perundang-undangannya tetapi tidak jelas harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
a. Kemashlahatan tersebut harus pasti, bukan atas dasar duga-duga
b. Kemashlahatan tersebut harus merupakan kemashlahatan umum, bukan mashlahat yang bersifat perorangan
c. Pembentukan hokum melalui mashlahat tidak boleh bertentangan dengan hokum atau prisnsip yang telah ditetapkan oleh nash/perundang-undangan atau ijma’.
Untuk mengetahui mana yang mashlahat dan mana yang madlarat bergantung kepada kecerdasan hakim melalui kemampuan analisa yang cermat, obyektif dan empiric termasuk wawasannya tentang ‘urf atau tradisi, meskipun hasil kajiannya terbatas pada kemashlahatan duniawi.
Syariat Islam di Negara Tauhid
Syariah merupakan bagian integral dan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan ummat islam, karena setiap muslim memang diwajibkan bertahkim kepadanya sebagai mana yang terkandung dalam al-qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun didalam implementasinya terdapat problem yang serius lantaran ummat islam indonesia hidup di negara yang bukan negara islam dan berdampingan dengan ummat yang lainnya.
Problem itu antara lain berwajah kultural di mana sampai saat ini masih dalam pertanyaan apakah ummat islam Indonesia sudah mengalami pembatinan (internalisasi) nilai-nilai islam kedalam kehidupan pribadinya, sehingga mereka merasakan ada tuntutan untuk meengekspresikan syari’at itu dalam berfikir, bersikap dan bertindak, atau malah sebaliknya.
Problem lain yang terjadi akibat tidak meratanya internalisasi nilai islam sebagaimana tersebut di atas adalah betapa beragamnya realitas kelembagaan dan struktu sosial yang ada. Boleh jadi sesama muslim tidak bersepakat mengenai bagaimana seharusnya syariat dipraktekkan dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Secara epistimologis juga timbul problem dikala terjadi transformasi syariat dalam sistem hukum nasional, dimana terdapat perbedaan sikap politik antar komunitas muslim yang disebabkan tidak adanya klarifikasi epistimologis dalam menangkap isu yang berkembang, karena masing-masing komunitas kebanyakan telah terkontaminasi dikotomi epistemik.
Tetapi kini ummat islam menyadari bahwa perbedaan epistimologi itu perlu segera dicairkan, sebab jika tidak akan berimplikasi pada perbedaan sikap dan kepentingan politik, dan yang paling berperan dalam masalah ini adalah para elit bangsa dan ummat, baik umara’, ulama, maupun politisi.
Alamsyah Ratu Prawiranegara (menteri agama tahun 1978-1983) adalah orang yang paling berjasa dalam menyingkap sejarah yang dilupakan tentang pengorbanan ummat islam di negara Republik Indonesia; Beliau menegaskan, bahwa pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, datang utusan kaum nasrani indonesia timur menghadap bung Hatta menyampaikan pesan bahwa Indonesia timur tidak akan bergabung dengan NKRI jika 7 kata piagam jakarta itu (Dengan Kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya) tidak dicabut.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 jam 08.00 pagi, bung Hatta mengundang K. H. Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Teuku M. Hasan dan Mr. Kasman Singodimejo untuk membahas keberatan kaum nasrani timur itu. Maka disepakati 7 kata dalam piagam Jakarta tersebut diganti dengan “Yang Maha Esa”, sehingga Kalimat “Ketuhanan dengan berkewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”
Ketika perubahan tersebut dibacakan di depan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), kalangan islam berdiri dan mengajukan protes keberatan dan mempertanyakan siapa yang merubah kesepakatan 7 kata itu. Ki Bagus Hadikusumo berdiri dan menjawab; “Kami yang merubah” sekaligus dengan tegas menjelaskan kepada sidang PPKI, bahwa maksud Ketuhanan Yang Maha Esa adalah TAUHID. Alhamdulillah dengan penegasan tauhid itu sidang paripurna PPKI menerima rumusan piagam jakarta yang baru untuk dijadikan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Sejak dari bangsa Indonesia melawan penjajah yang dipelopori oleh para sultan dan para pejuang pergerakan sampai dengan memformulasikan dasar negara Pancasila, ummat Islam telah berkorban demi kemerdekaan negeri ini. Ada dua pengorbanan ummat islam yaitu memupus keinginannya mendirikan negara Islam Indonesia dan dengan lapang dada menghapus tujuh kata dalam piagam jakarta.
Hanya dengan penjelasan bahwa sila pertama dari pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, bermakna TAUHID lah, maka para pejuang kemerdekaan Indonesia yang mayoritas terdiri dari para ulama dan cendekiawan muslim dapat menerima Pancasila. Karena mereka memahami hakekatnya, bahwa negara Kesatuan Republik Indesia adalah negara derdasarkan tauhid atau dengan kata lain NEGARA TAUHID.
Eksistensi negara tauhid ini lebih tegas dinyatakan oleh Presiden Sukarno dalam dekrit Prisiden RI 5 Juli 1959, 14 tahun setelah proklamasi, bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan ia merupakan rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Artinya segala peraturan perundangan yang akan dibuat dan diberlakukan di negara Indonesia tidak boleh bertentangan dengan syari’at islam. Dan bagi pemeluk agama islam tetap diwajibkan untuk melaksanakan syari’at islam.
Bukti pelaksanaan syari’ah di Indonesia dapat dilihat pasal 29 UUD 1945, dan beberapa UU organiknya antara lain:
1. UU no. 1 tahun 1974, tentang Perkawinan,
2. UU no. 7 tahun 1989, tetang Peradilan Agama,
3. UU no. 3 tahun 2006, tentang perubahan atas UU no.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
4. UU no. 17 tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji,
5. UU no. 38 tahun 1999, tentang Pengelolaan Zakat,
6. UU no. 14 tahun 2004, tentang Wakaf,
7. UU no. 19 tahun 2008, tentang Surat Berharsga syari’ah Negara,
8. UU no. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah
Dalam hal adanya kesadaran mengimplementasikan syariah di Indonesia dapat pula disaksikan bahwa setiap presiden dan atau DPR membuat peraturan perundang-undangan baik secara ucapan atau tulisan selalu diawali dengan irah-irah “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA”. Oleh karena itu ummat islam harus sadar dan faham bahwa Indonesia ini milik kita, bukan milik siapa-siapa, memang Indonesia bukan negara Islam, akan tetapi Indonesia adalah negara tauhid yang tidak pernah mengabaikan syari’atnya. Kita harus bersyukur dan bangga menjadi warga negara Republik Indonesia.